Contact us

Bayang-Bayang Pohon Delima
Penulis: Tariq Ali

Penerjemah: Julkifli Marbun

Penyunting: Retno Ayu Adiati & Syaira Rahmani

Cetakan I, Juli, 2006

Tariq Ali menangkap sisi kemanusiaan dan kecemerlangan Muslim Spanyol … Sebuah cerita yang memesona, dikupas dengan hati-hati dan bergairah. Bayang-bayang Pohon Delima bagaikan teka-teki sekaligus jujur, informatif, dan nikmat, sebuah sejarah nyata sekaligus fiksi.

Novel ini telah diterjemahkan dalam lusinan bahasa dan dianugerahi penghargaan Archbishop San Clemente del Instituto Rosalia de Casto Prize untuk kategori Fiksi Bahasa Asing Terbaik yang diterbitkan di Spanyol pada 1994.

More

Kertas itu boleh kalian bakar, tapi apa yang tertera di kertas itu tak bisa kalian bakar; tersimpan aman di dadaku. Ke mana kumelangkah, dia melangkah bersama; berseri ketika kuberseri, dan di kuburku akan terbaring (hal 56).

Pada tanggal 1 Desember 1499 prajurit-prajurit Kristen menyita semua koleksi tulisan berbahasa Arab di Andalusia. Kecuali tigaratusan manuskrip tentang obat-obatan dan astronomi yang dipindahkan ke perpustakaan Alcala, ratusan ribu manuskrip yang merupakan puncak kegemilangan khazanah Islam, disusun membentuk tembok benteng di pasar Bab al-Ramla. Tembok buku-buku tersebut kemudian dibakar menjadi tembok api yang disertai ratapan kaum muslimin. “Kita tengah tenggelam di lautan ketidakberdayaan”, begitu salah satu bunyi ratapan.

Kekalahan yang pahit itu merupakan rentetan proses keruntuhan Islam di Spanyol. Warga kota yang telah ditaklukkan dipaksa memeluk agama Kristen atau dibunuh. Keadaan yang tidak mengenakkan itu memicu gejolak perlawanan. Terutama sekali kalangan anak muda yang mendapat cerita tentang kepahlawanan leluhur mereka tidak bisa menerima perlakukan prajurit Kristen. Mereka pun melakukan perlawanan yang menyebabkan timbulnya petaka yang lebih buruk.

Seperti novel “Perempuan Batu”, novel Tariq Ali ini juga berkisar tentang sebuah keluarga pada detik-detik keruntuhan kejayaan Islam. Bila dalam Perempuan Batu cerita terjadi di Turki, maka dalam novel ini cerita berlatar Spanyol. Sentral cerita adalah keluarga Bani Hudayl yang tinggal di sebuah kampung pertanian di pedalaman Granada. Di dalam istana yang dibangun berkat keberhasilan Ibnu Farid, mereka tengah dibayang-bayangi kematian. Apalagi setelah Zuhayr bin Umar dan teman-temannya mempermalukan prajurit Lembaga Inkuisisi di bawah pimpinan Fransisco Ximenes de Cisneros.

Meski bercerita tentang keruntuhan, namun novel ini juga diwarnai oleh kisah manis dalam keluarga Hudayl, yakni percintaan Hind dan sarjana muda dari Kairo, cinta segitiga Zahra-al Zindiq-Ama, keliaran Zuhayr si kuda jantan, kepintaran si Cebol yang ahli membuat hidangan lezat, dan si kecil Yazid yang menggemaskan. Kebesaran keluarga Bani Hudayl yang sangat baik terhadap semua warga kampung, terhadap yang muslim maupun Yahudi dan Katolik, terasa sangat mengesankan. Ini terjadi di sebuah rumah besar yang dikelilingi taman dan dialiri sungai yang jernih.

Perihal keruntuhan Spanyol ini secara metaforis disampaikan Tariq Ali melalui bayang-bayang pohon delima. Di tempat itu tersimpan rahasia percintaan Ama, Hind yang menyerahkan keperawanannya, keluh kesah Umar tentang kecemasannya pada masa depan keturunan, warga desa, dan agamanya, serta kesedihan bocah Yazid yang di ujung cerita mati tertusuk tombak dengan mata penuh linang. Ada ironi yang tak dapat dimungkiri, bahwa keruntuhan Islam tersebut tidaklah semata-mata karena kekuatan prajurit Kristen jauh di atas kemampuan kaum Muslim, akan tetapi lebih disebabkan karena sudah keroposnya nilai-nilai Islam dalam diri sebagian umat ketika itu, seperti pejabat yang tak lagi mewakili kepentingan rakyat, kedangkalan akidah sehingga dapat ditukar dengan iming-iming kekayaan, dan keganjilan moral generasi yang mengaku agamis.

Namun demikian, meskipun barangkali mereka tak sepenuhnya mengindahkan ajaran agama, para anak mudanya mempunyai loyalitas yang tinggi untuk membela agama. Tuntutan mempertahankan tanah air dan membela agama, membuat mereka mati karena pertimbangan kurang bijaksana. Sejarah penuh dengan anak-anak muda bodoh yang mabuk agama dan berperang melawan orang kafir. Lebih mudah meminum racun di bawah pohon dekat sungai dan mati dengan damai. Tetapi lebih baik tetap hidup. (259)

Pada akhirnya kampung yang subur dan makmur itu tumpas juga dan hilang dari peta, tetapi sampai sekarang sejarah tetap mencatat bahwa pada suatu ketika Islam pernah jaya di Andalusia, Granada, juga Sevilla. Meskipun peradaban itu dicoba hapus musnahkan, tetap ada yang meneruskannya di belahan bumi yang lain, sampai akhir masa.

More

0 Reviews:

Posting Komentar